selamat datang

Minggu, 27 Februari 2011

Aku ingin anak lelakiku menirumu

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya:
“Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab:
“Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku
berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di
rumah Lalu kubilang pada suamiku:
“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata:
“Oh ya. Ide bagus itu.”
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa
lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk
pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia
dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika
sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan
keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami
semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke
punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin
menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau
lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya
merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak
lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan
menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh
urusan seremeh itu, katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai
dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku
itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
“Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!”
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang
mencemaskan aku.
Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.
Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah
sambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!”
Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera
membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam
pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini.
Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan
suamiku dan kukatakan padanya:
“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak
ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk
sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan
anaknya sendiri!”
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin
anakku menirumu, wahai Nabi.
Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran
dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati.
Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu,
“Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang
putus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku yang terpaku.
Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam.
Kupandangi keduanya, berlinangan air mata.
Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?
Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa
tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan
seorang ayah yang didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu
mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.
Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi
keturunan.

Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan
dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan
sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi
jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke
pelukan suamiku. Aku bilang:
“Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian
menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa
berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan
betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan
yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi
rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu
Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu.
Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:
Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, Alhamdulillah
SEBARKAN ke teman anda jika menurut anda catatan ini bermanfaat

Kamis, 17 Februari 2011

8 kebohongan seorang Ibu


Assalaamu’alaikum wr. wb…
Teman2 sekalian, buat renungan aja, Insya Allah bermanfaat, amien… ” Seumur hidup kita menggendong orangtua di pundak kita, tidak akan bisa membalas jasa-jasa orang tua kita “
Delapan Kebohongan Seorang Ibu Dalam Hidupnya
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya.
Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.
Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya
untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :
“Makanlah nak, aku tidak lapar” ———- KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA
Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk
petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping ku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata :
“Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA
Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaanny menempel kotak korek api. Aku berkata :”Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.
” Ibu tersenyum dan berkata :”Cepatlah tidur nak, aku tidak capek” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA
Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum.
Ibu berkata :”Minumlah nak, aku tidak haus!” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT
Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka,
Ibu berkata : “Saya tidak butuh cinta” ———-KEBOHONGA N IBU YANG KELIMA
Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut.
Ibu berkata : “Saya punya duit” ———-KEBOHONGA N IBU YANG KEENAM
Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku :
“Aku tidak terbiasa” ———-KEBOHONGA N IBU YANG KETUJUH
Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata :
“Jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan” ———-KEBOHONGA N IBU YANG KEDELAPAN.
Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya. Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : “Terima kasih Ibu ! “
Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita?Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita
selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan pacar (maaf yah nyindir yg pacaran), kita pasti lebih peduli dengan pacar. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita…??
Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita? Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi…
Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian hari.
“YA ALLAH AMPUNILAH SEMUA DOSA2 DAN KESALAHAN IBUKU JUGA AYAHKU, TEMPATKANLAH MEREKA DITEMPAT TERBAIK DISISI-MU, LAPANGKAN DAN TERANGILAH KUBURANNYA DENGAN NUR-MU YA RABB.. AMPUNILAH SEMUA KESALAHAN DAN DOSA2KU KEPADA MEREKA BERDUA.. SAYANGILAH MEREKA DISISI-MU SEPERTI MEREKA MENYAYANGIKU TANPA BATAS..” AMIN YA RABB…
Wassalaamu’alaikum wr. wb.

Minggu, 06 Februari 2011

Dulu Haram Kini Halal

Pada suatu ketika di zaman Nabi Muhammad SAW ada seorang pencuri yang hendak
bertaubat, dia duduk di majelis Nabi Muhammad SAW dimana para sahabat berdesakdesakkan
di Masjib Nabawi.
Suatu ketika dia menangkap perkataan Nabi saw : “Barangsiapa meninggalkan
sesuatu yang haram karena Allah, maka suatu ketika dia akan memperoleh yang Haram itu
dalam keadaan halal”. Sungguh dia tidak memahami maksudnya, apalagi ketika para sahabat
mendiskusikan hal tersebut setelah majelis dengan tingkat keimanan dan pemahaman yang
jauh dibawah sang pencuri merasa tersisihkan.
Akhirnya malam pun semakin larut, sang pencuri lapar. Keluarlah dia dari Masjid
demi melupakan rasa laparnya.
Di suatu gang tempat dia berjalan, dia mendapati suatu rumah yang pintunya agak
terbuka. Dengan insting pencurinya yang tajam ia dapat melihat dalam gelap bahwa pintu itu
tidak terkunci…dan timbullah peperangan dalam hatinya untuk mencuri atau tidak. Tidak, ia
merasa tidak boleh mencuri lagi.
Namun tiba-tiba timbul bisikan aneh : “Jika kamu tidak mencuri mungkin akan ada
pencuri lainnya yang belum tentu seperti kamu”. Menjadi berfikirlah dia, maka diputuskan
dia hendak memberitahukan/mengingatkan pemiliknya di dalam agar mengunci pintu
rumahnya, karena sudah lewat tengah malam.
Dia hendak memberi salam namun timbul kembali suara tadi : “Hei pemuda!
bagaimana kalau ternyata di dalam ada pencuri dan pintu ini ternyata adalah pencuri itu yang
membuka, bila engkau mengucap salam … akan kagetlah dia dan bersembunyi, alangkah
baiknya jika engkau masuk diam-diam dan memergoki dia dengan menangkap basahnya !”
Ah.. benar juga, pikirnya.
Maka masuklah ia dengan tanpa suara… Ruangan rumah tersebut agak luas,
dilihatnya berkeliling ada satu meja yang penuh makanan – timbul keinginannya untuk
mencuri lagi, namun segera ia sadar – tidak, ia tidak boleh mencuri lagi.
Masuklah ia dengan hati-hati, hehhh …syukurlah tidak ada pencuri berarti memang
sang pemilik yang lalai mengunci pintu. Sekarang tinggal memberitahukan kepada pemilik
rumah tentang kelalaiannya, tiba-tiba terdengar suara mendengkur halus dari sudut
ruang….Ahh ternyata ada yang tidur mungkin sang pemilik dan sepertinya perempuan cantik.
Tanpa dia sadari kakinya melangkah mendekati tempat tidur, perasaannya berkecamuk,
macam-macam yang ada dalam hatinya. Kecantikan, tidak lengkapnya busana tidur yang
menutup sang wanita membuat timbul hasrat kotor dalam dirinya.
Begitu besarnya hingga keluar keringat dinginnya, seakan jelas ia mendengar
jantungnya berdetak kencang didadanya, serta tak dia sangka ia sudah duduk mematung
disamping tempat tidur…Tidak, aku tidak boleh melakukan ini aku ingin bertaubat dan tidak
mau menambah dosa yang ada, tidakk !!
Segera ia memutar badannya untuk pergi. Akan ia ketuk dan beri salam dari luar
sebagaimana tadi. Ketika akan menuju pintu keluar ia melalui meja makan tadi, tiba-tiba
terdengar bunyi dalam perutnya…ia lapar. Timbullah suara aneh tadi : “Bagus hei pemuda
yang baik, bagaimana ringankah sekarang perasaanmu setelah melawan hawa nafsu
birahimu?”
Eh-eh, ya. Alhamdulillah ada rasa bangga dalam hati ini dapat berbuat kebaikan dan
niat perbuatan pemberitahuan ini akan sangat terpuji. Pikir sang pemuda. Suara itu berkata:
“Maka sudah sepatutnya engkau memperoleh ganjaran dari sang pemilik rumah atas niat
baikmu itu, ambillah sedikit makanan untuk mengganjal perutmu agar tidak timbul perasaan
dan keinginan mencuri lagi!!”
Berpikirlah dia merenung sebentar, patutkah ia berbuat begitu? “Hei – tiba2x ia
tersadar serta berucap dalam hati – engkau dari tadi yang berbicara dan memberi nasihat
kepadaku? Tapi nasihatmu itu telah menjadikan aku menjadi tamu tidak diundang seperti ini,
tidak.. aku tidak akan mendengarkan nasihatmu. Bila engkau Tuhan, tidak akan memberi
nasihat seperti ini. Pasti engkau Syaithon….(hening).
Celaka aku, bila ada orang yang di luar dan melihat perbuatanku …. aku harus
keluar.” Maka tergesa-gesa ia keluar rumah wanita tersebut, ketika tiba dihadapan pintu ia
mengetuk keras dan mengucap salam yang terdengar serak menakutkan.
Semakin khawatir ia akan suaranya yang berubah, setelah itu tanpa memastikan pemiliknya
mendengar atau tidak ia kembali menuju masjid dengan perasaan galau namun lega, karena
tidak ada orang yang memergoki dia melakukan apa yang disarankan suara aneh tadi.
Sesampai dimasjid, ia melihat Nabi saw sedang berdiri sholat. Di sudut ruang ada
seorang yang membaca al qur-aan dengan khusyu’ sambil meneteskan air mata, di sudutsudut
terdapat para shahabat dan kaum shuffah tidur. Dingin sekali malam ini, lapar sekali
perut ini teringat lagi ia akan pengalaman yang baru dia alami, bersyukur ia atas pertolongan
Allah yang menguatkan hatinya.
Tapi … tidak di dengar bisikan Allah di hatinya, apakah Allah marah kepadaku? Lalu
ia menghampiri sudut ruang masjid duduk dekat pintu, dekat orang yang membaca al quraan.
Ditengah melamunnya ia mendengar sayup namun jelas bait-bait ayat suci ……
Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat
Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang
sombong:”Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu
menghindarkan dari pada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja Mereka
menjawab:”Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi
petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali
kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri”. (QS. 14:21)
Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya
Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu
tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan
(sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu
mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu
dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan
perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orangorang
yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (QS. 14:22)
Bergetarlah hatinya mendengar perkataan Allah yang di dengarnya, berkatalah ia
“Engkau berbicara kepadakukah, ya Allah?” Serasa lapang hatinya, semakin asyik dia
mendengarkan bacaan suci itu, maka lupalah ia akan laparnya, segar rasanya badannya.
Cukup lama ia mendengarkan bacaan orang itu hingga tiba-tiba tersentak ia karena
bacaan itu dihentikan berganti dengan ucapan menjawab salam. Terlihat olehnya pula bahwa
pria itu menjawab salam seseorang wanita dan seorang tua yang masuk langsung menuju
tempat Nabi Muhammad SAW sedang duduk berdzikir, dan wajah wanita itu … adalah
wajah wanita tadi !!!??? Timbul gelisah hatinya, apakah tadi ketika ia berada di ruangan itu
sang wanita pura-pura tidur dan melihat wajahnya? Ataukah ada orang yang diam-diam
melihatnya, mungkin laki-laki tua yang bersamanya adalah orang yang diam-diam
memergokinya ketika ia keluar dan mengetuk pintu rumah itu? Ahh … celaka, celaka.
Namun gemetar tubuhnya, tidak mampu ia menggerakkan anggota tubuhnya untuk
bersembunyi atau pergi apalagi tampak olehnya pria yang tadi membaca al Qur-aan hendak
tidur dan tak lama pun mendengkur. Dan ia lihat mereka sudah berbicara dengan Nabi saw….
celaka, pikirnya panik !!
Hampir celentang jatuh ia ketika terdengar suara Nabi Muhammad SAW. : “Hai
Fulan, kemarilah !” Dengan perlahan dan perasaan takut ia mendekat. Ia berusaha
menyembunyikan wajahnya.
Ia mendengar sang perempuan masih berbicara kepada Nabi Muhammad SAW.
katanya : “…benar ya Rosulullah, saya sangat takut pada saat itu saya bermimpi rumah saya
kemasukan orang yang hendak mencuri, dia mendekati saya dan hendak memperkosa saya,
ketika saya berontak … ternyata itu hanya mimpi. Namun ketika saya melihat sekelilingnya
ternyata pintu rumah saya terbuka sebagaimana mimpi saya dan ada suara menyeramkan
yang membuat saya takut. Maka segera saya menuju rumah paman saya untuk meminta
dicarikan suami buat saya, agar kejadian yang di mimpi saya tidak terjadi bila saya ada suami
yang melindungi. Sehingga beliau mengajak saya menemui engkau disini agar memilihkan
calon suami untuk saya”.
Nabi saw memandang kepada si pemuda bekas pencuri, lalu berkata : “Hai Fulan,
karena tidak ada pria yang bangun kecuali engkau saat ini maka aku tawarkan padamu,
maukah engkau menjadi suaminya?” Terkejut ia mendengar itu, cepat mengangguklah ia.
Dan setelah sholat shubuh Nabi saw mengumumkan hal ini dan meminta para
shahabat mengumpulkan dana untuk mengadakan pernikahan dan pembayaran mas kawin si
pemuda ini.
Setelah pernikahannya, tahulah ia akan arti perkataan Nabi Muhammad yang lalu :
“Barangsiapa meninggalkan sesuatu yang haram karena Allah, maka suatu ketika dia
akan memperoleh yang Haram itu dalam keadaan halal”.

Sabtu, 05 Februari 2011

kisah sebuah pernikahan yang patut dicontoh

“Sedikit Renungan cerita buat kita yang banyak hikmahnya jika kita mau mengkajinya”
Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya saat itu aku
menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan justru rasa haru biru.
Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada satu pun sanak saudara yang menemaniku ke
tempat mempelai wanita. Apalagi ibu. Beliau yang paling keras menentang
perkawinanku.Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari,
“Jadi juga kau nikah sama buntelan karung hitam’ itu ….?!?” Duh……, hatiku sempat
kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon istriku disebut ‘buntelan karung hitam’.
“Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam, gendut
dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih tua beberapa tahun lagi
dibanding kamu !!” sambung ibu lagi.
“Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan Allah.
Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu…?” Kali ini aku terpaksa menimpali ucapan
ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung mendengar ucapanku.
“Oh…. rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu. baiklah
Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan seorang dari kami ada di
tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan itu ke rumah ini !!”
DEGG !!!!
“Yanto…. jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba,” teguran Ismail
membuyarkan lamunanku.
Segera kuucapkan istighfar dalam hati.
“Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah …akhi,” sekali lagi Ismail memberi
semangat padaku.
“Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas
kawin seperangkat alat sholat tunai !” Alhamdulillah lancar juga aku mengucapkan aqad
nikah.
“Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien.
Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain.”
Di kamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama.Memandangi
istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah sekian lama kami saling diam,
akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya.
“Assalamu’alaikum …. permintaan hafalan Qur’annya mau di cek kapan De’…?”
tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan dalam tunduknya.
Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam pertama hingga ke sepuluh agar
aku membacakan hafalan Qur’an tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui.
“Nanti saja dalam qiyamullail,” jawab istriku, masih dalam tunduknya. Wajahnya yang
berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat dagunya, ia seperti
ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku suaminya dan berhak untuk
melakukan itu , ia menyerah.
Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku ‘tidak menarik’.
Sekelebat pikiran itu muncul ….dan segera aku mengusirnya.
Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.
“Bang, sudah saya katakan sejak awal ta’aruf, bahwa fisik saya seperti ini. Kalau
Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal beristrikan saya,
mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak untuk Abang. Seperti
keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam malik yang ikhlas menerima
sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya. Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah
yang dibacakan ibunya Imam Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan
mereka,” …
Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ahsan). Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang banyak.”(QS An-Nisa:19)
Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata itu lekatlekat.
Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita yang memiliki cacat itu.
Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama besar ummat Islam yang namanya abadi
dalam sejarah.
“Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan kasih
sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan menyayanginya
dengan segenap hati yang ikhlas.”
Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam dekapku.
Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih menyisakan segumpal ragu.
“Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh… saya siap
menerima keputusan apapun yang terburuk,” ucapnya lagi.
“Tidak…De’. Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah. Sudah
teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika seluruh keluarga memboikot
untuk tak datang tadi pagi,” paparku sambil menggenggam erat tangannya.
Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait do’a
kubentangkan pada Nya.
“Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan cinta
buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang cantik karena aku
ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi saksikanlah malam ini akan kubuktikan bahwa
cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu. Karena itu, pertemukanlah aku
dengan-Mu dalam Jannah-Mu !”
Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap raut wajah
istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku benar-benar mencintainya.
Kenapa tidak? Bukankah ia wanita sholihah sejati. Ia senantiasa menegakkan malammalamnya
dengan munajat panjang pada-Nya.
Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan senantiasa melaksanakan shoum sunnah
Rasul Nya.
“…dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingantandingan
selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya pada Allah …” (QS. al-
Baqarah:165)
=========================================
Ya Allah sesungguhnya aku ini lemah , maka kuatkanlah aku dan aku ini hina maka
muliakanlah aku dan aku fakir maka kayakanlah aku wahai Dzat yang maha Pengasih

Kamis, 03 Februari 2011

Melajang, Nikmat atau Adzab ?

Fenomena melajang menggeliat, gaya hidup ini semakin ngetrend, lebih-lebih di kalangan anak-anak muda perkotaan, yang berkantong tipis dari mereka memilih jalan ini karena menganggap bisa meringankan beban hidup, lebih-lebih dalam keadaan ekonomi nasional yang belum menggembirakan, cari kerjaan susah minta ampun, (eh minta ampunnya kepada siapa ya?), harga-harga tidak mau kalah dengan pesawat terbang yang hampir tiap hari naik, susah dan berat. Sebuah kondisi yang ikut menyuburkan kecenderungan kepada gaya hidup yang satu ini.

“Boro-boro menikah kemudian ngasih makan anak bini, lha hidup sendiri saja sudah susah, hanya cukup buat makan doang. Mendingan sendiri dulu lah, beban bisa ringan.” Begitu kira-kira dalih kelompok kantong tipis ini. Di seberang mereka adalah kelompok berfulus dengan kantong tebal, kelompok tajir, tidak kalah berkilah, “Buat apa buru-buru menikah, harus ngrusi ini dan itu, memperhatikan istri dan anak-anak, ribet ahh, mendingan enjoy dulu lha, masalah pasangan kan gak kudu menikah.”

Tentu dalih di atas adalah dalih dari orang-orang yang belum tersentuh dakwah dengan benar, belum beriltizam kepada syariat dengan teguh, karena bila sebaliknya maka seseorang akan merasakan betapa beratnya memilih cara hidup melajang, dari mana beratnya? Ya dari sisi godaan dan fitnah lawan jenis. Anda masih normalkan? Lebih-lebih di negeri ini, negeri yang laki-laki dan perempuannya campur baur alias ikhtilath di segala lini kehidupan, di ladang pekerjaan, di fasilitas-fasilitas umum, semuanya tersedia laki-laki dengan wanita tanpa pemisah, seorang muslim mau dan tidak mau harus, demikian pula seorang muslimah, bila iman tidak kuat maka urusannya jadi nambah dosa melulu, ia nggak? Kapan ya syariat di negeri ini diterapkan sehingga ada aturan pembagian pekerjaan sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i dan selanjutnya ada pemisahan antara laki-laki dengan wanita di lapangan?

Bagi orang yang beriman kesendirian bisa menggerogoti iman dan menipiskannya, lebih-lebih bila yang bersangkutan berada di dunia yang isinya kaum hawa melulu, bila tak pandai-pandai menjaga jendela dunia yaitu pandangan mata maka dalam sekejap bisa terjebak ke dalam kubangan dosa. Anda sebagai laki-laki, keluar rumah untuk suatu hajat, Anda tersuguhi oleh pemandangan yang tidak syar’i namun sulit untuk menghindari, berpaling dari satu arah, kena di arah yang lain, serba salah jadinya, apa harus merem alias memejamkan mata ya?

Dari sisi syar’i ini membujang atau melajang berbahaya dan beresiko, maka tidak ada jalan lain selain meninggalkannya dan mengambil jalan lain yaitu menikah bila kemampuan sudah ada, menikah meminimalkan fitnah dan menjaga diri dari godaan setan yang terkutuk. Disayangkan bila kita berupaya menjadi orang baik, lalu kebaikan tersebut tergerus hanya karena benteng diri lewat pernikahan tidak kita miliki.

Sebagian orang yang jahil dan belum paham benar agama memandang salah terhadap pernikahan. Pernikahan yang memiliki target luhur dan mulia dianggap hanyalah kesepakatan di antara manusia, bukan syariat Ilahi Tuhan penguasa alam raya, anggapan bahwa menikah hanyalah mubah, sehingga sah-sah saja bila tidak menikah. Padahal dalam tatanan syariat Ilahi Rabbi, menikah adalah mitsaqan ghalizhah, akad agung yang menyatukan antara bani Adam dengan binti Hawa dalam sebuah hubungan suci, tanggung jawab dan membahagiakan.

Sebagian orang jahil masih beranggapan bahwa menikah hanya pengekangan terhadap kebebasan pergaulan, hanya sebatas pelampiasan nafsu belaka dengan kedok akad, intinya menikah bukan sesuatu yang menguntungkan, atau paling tidak lebih banyak nomboknya atau ruginya.

Sebuah anggapan keliru yang patut diluruskan, anggapan yang tertolak oleh kenyataan dan fakta lapangan, okelah saya mengalah kepada mereka, anggap menikah merugikan, namun apa iya manusia dalam jumlah yang sangat banyak dan menjalani hidupnya dengan menikah merasa rugi? Tanyakan kepada mereka, ternyata jawabannya sebaliknya, “Rugi kamu tidak segera menikah.” Itu jawabannya, atau tidak usah mencari jawaban, karena pilihan menikah itu sendiri sudah merupakan jawaban yang membuktikan bahwa menikah itu menguntungkan dan menyelamatkan.

Saya bertanya kepada orang-orang yang memilih membujang, ke mana Anda menyalurkan hasrat? Hanya ada satu cara selain menikah, berzina. Naudzubillah, dan sepertinya demikian. Sebuah perbuatan keji dan jalan buruk yang dimurkai Rabbil alamin.

Saya tidak memungkiri ada di antara anak-anak muda yang membujang karena terpaksa. Terpaksa karena niatan menikah ada bahkan kuat, namun himpitan kondisi sekitar belum memungkinkannya menikah. Mengurus bapak atau ibu yang sakit-sakitan, belum ketemu jodoh, membiayai adik-adik yang berjumlah banyak dan alasan-alasan lain yang tidak mengada-ada. Bisa dimaklumi dan tidak terkesan mengada-ada demi mencari kesenangan hidup yang bebas, namun harus tetap berusaha untuk menunaikan sunnah Ilahiyah yang mulia ini. Kepada mereka yang keadaannya demikian, saya doakan semoga bisa mengatasinya dan segera mereguk nikmatnya anggur pernikahan. Wassalam.